MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Berbiacara tentang Kauman, rasanya tidak jauh dari kultur yang kuat. Kultur yang terasa hingga saat ini yaitu Kultur Keraton Yogyakarta dan Muhammadiyah. Kauman memang kampung yang kecil di Kota Yogyakarta, namun Kampung Kauman ini memiliki budaya yang sangat kental dan kuat. Salah satunya, budaya membangun Langgar. Budaya membangun langgar ini hanya dilakukan oleh seseorang yang memiliki ilmu agama tinggi dan ditinggikan oleh masyarakat. Seperti halnya Kiai, Khatib Amin, Penghulu Keraton, dan orang-orang berkasta sosial tinggi. Sehingga, setiap Kiai di Kauman memiliki Langgar sendiri.
“Kampung Kauman ini kurang lebih memiliki 10 Langgar. Langgar ini selalu berada terpisah dengan rumah pemiliknya namun juga tidak jauh dari rumah pemiliknya. Seperti halnya, kalau di zaman sekarang orang-orang memiliki mushola di dalam rumah. Namun, Langgar di Kauman tidak mengumandangkan Adzan karena pada dasarnya Adzan di Kauman terpusat pada Masjid Besar Keraton Yogyakarta,” jelas Widyastuti, Cicit KH. Ahmad Dahlan yang juga Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah pada Kamis (18/10).
Kalau sudah bicara soal Langgar, kata Wiwit sapaan akrab Widyastuti, sebenarnya itu ditujukan hanya untuk tempat sholat keluarga seperti halnya Mushola. Namun pada perkembangannya, Langgar kemudian digunakan untuk aktivitas kemasyarakatan.
“Biasanya mereka itu, kalau yang laki-laki sholatnya di Masjid Besar tapi kalau yang perempuan dan anak-anak biasanya di Langgar. Nah baru setelah itu Langgar digunakan sebagai tempat mengajar para Kiai pada murid yang mengaji termasuk Langgar Kidul KH. Ahmad Dahlan ini,” imbuhnya.
Saat itu, KH Ahmad Dahlan adalah seorang Khatib Amin Masjid Besar Keraton Yogyakarta, yang artinya KH. Ahmad Dahlan juga seorang abdi dalem Keraton. Posisi Khatib Amin tersebut, didapatkan KH. Ahmad Dahlan dari bapaknya yang juga seorang Khatib Amin kemudian diturunkan ke KH. Ahmad Dahlan.
“Langgar Kidul KH. Ahmad Dahlan tepat didepan rumahnya, masih dalam kompleks rumah beliau. Di Langgar itulah memang ada aktivitas keseharian beliau, dan Langgar itu berhubungan langsung dengan rumahnya. Jadi ada pintu sambungan dari rumahnya,”ujar Wiwit.
Wiwit juga mengatakan, masih ada perdebatan tentang tahun berapa pastinya Langgar Kidul KH. Ahmad Dahlan ini didirikan.
“Kalau pastinya masih debatable ya, tapi pada tahun 1800 itu setelah KH. Ahmad Dahlan Haji dan menikah, kemudian sempat dirobohkan dan dibangun kembali berkat didukung oleh saudara yang memang menghendaki KH Dahlan tetap tinggal di Kauman,” ungkap Wiwit.
Langgar Kidul KH. Ahmad Dahlan ini sebenarnya diaktifkan oleh murid-muridnya sendiri. Kemudian, saat Nyai Ahmad Dahlan (Siti Walidah) Istrinya sudah mulai bisa mengajar, Langgar tersebut digunakan sebagai tempat belajar anak-anak perempuan.
“Ketika saat itu anak perempuan semakin banyak yang ikut belajar mengaji di Langgar melebarlah hingga teras rumahnya,” kata Wiwit.
Saat awal KH. Ahmad Dahlan membangun Langgar, banyak mengundang Kiai-Kiai dari luar daerah untuk berdiskusi di Langgarnya.
“Ketika kemudian dirasa sudah sempit, banyak murid dan banyak orang berdatangan ke Langgar Kidul KH. Ahmad Dahlan untuk belajar, maka dibangunlah di bagian depan Langgar dengan apa yang kita sebut dengan Pawiyatan,” lanjut Wiwit.
Pawiyatan adalah ruangan yang dibagi dalam tiga kelas yang di pakai sebagai tempat transit sebelum kemudian KH. Ahmad Dahlan mendirikan Kweek School di Suronatan.
“Sebenarnya pada awalnya alasan Pawiyatan dibangun untuk mengatasi banyaknya murid perempuan dan laki-laki yang dipisah ketika belajar,” jelasnya lagi.
Sampai sekarang, dijelaskan oleh Wiwit, Langgar Kidul KH. Ahmad Dahlan masih terus termanfaatkan. Diantaranya sebagai kunjungan karena Langgar KH. Ahmad Dahlan masuk dalam masterpiece nya Muhammadiyah, kemudian TPA KH. Ahmad Dahlan yang masih diselenggarakan oleh keluarga didalam naungan Yayasan Ahmad Dahlan, Pengajian, Pertemuan Kampung, Tarawih, Kegiatan Organisasi Otonom, dan lain sebagainya.
“Apalagi sekarang ini sedang ada trend yang berkembang, jadi jika ada kunjungan itu tidak hanya kunjungan saja, namun juga diadakan diskusi-diskusi di Langgar dan Pawiyatan yang kemudian kita sediakan secara khusus untuk pertemuan seperti itu,” tutup Wiwit. (Syifa)
0 Komentar
Untuk mengirimkan komentar silakan login terlebih dahulu!