MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Pendiri Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan (1868-1923) merupakan seorang guru sejati. Perhatian beliau terhadap pendidikan bukan saja muncul karena keprihatinannya atas kondisi umat Islam yang saat itu jahil, berpandangan dikotomis dan terbelakang, tetapi juga karena keyakinannya bahwa Islam otomatis maju jika alam pikiran umatnya tercerahkan.
Kiai Ahmad Dahlan pun bertekad mendirikan sekolah integratif yang menyatukan pendidikan agama dan sains Barat yang dia namakan sebagai Sistem Madrasah. Namun sebelum mendirikan sekolah itu, guru-gurunya berpesan agar Kiai Dahlan mendirikan sebuah organisasi permanen yang menaunginya terlebih dahulu.
Madrasah Harus Berkelanjutan
Maksud dari didirikannya organisasi itu tidak lain adalah untuk menghindari nasib banyak pesantren yang berhenti beroperasi setelah tokoh pemilik atau pemimpinnya wafat. Demikian terang Nasruddin Anshoriy dalam Matahari Pembaruan Rekam Jejak K.H. Ahmad Dahlan (2010). Maka Kiai Ahmad Dahlan pun bergabung dengan Budi Utomo (BU) pada 1909.
Selain karena sebuah strategi dakwah untuk dapat memberikan pelajaran Islam di kantor BU, kantor-kantor pemerintah dan sekolah pemerintah Belanda yang sulit ditembus, bergabungnya Kiai Ahmad Dahlan dengan BU adalah untuk mempelajari sistem organisasi dan sistem tata kelola manajemen.
Setelah ilmu manajemen dirasa cukup, beliau pun mendirikan sekolah integratif pertama pada 1 Desember 1911 di ruang tamunya yang berukuran 2,5 x 6 m dengan nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (MIDI).
Mendirikan Madrasah Modern Pertama
Sekolah yang dirintis dengan 8 siswa itu saat diresmikan memiliki 29 siswa dan enam bulan kemudian pada Juni 1912, para siswa bertambah menjadi 62 orang. Kiai Ahmad Dahlan juga mendirikan pesantren Qismul Arqa (cikal bakal Kweekschool Moehammadijah atau Mu’allimin) pada 1919. Tujuan dari lembaga ini adalah untuk menyediakan tenaga pengajar di berbagai madrasah Muhammadiyah. Hingga tahun 1930, lembaga pendidikan ini bahkan menjadi satu-satunya lembaga pendidikan Islam modern pertama di Yogyakarta, demikian catatan Amir Hamzah Wirjosukarto dalam Pembaharuan pendidikan dan pengadjaran Islam yng diselenggarakan oleh pergerakan Muhammadijah dari kota Jogjakarta (1962).
Strategi Baru Pendidikan Madrasah Selain berpikiran jauh dengan mencetuskan konsep Madrasah, Kiai Ahmad Dahlan juga merupakan sosok ideal sebagai seorang guru yang selalu memiliki berbagai variasi dalam mengajar. Ketika sekolah Madrasahnya diboikot oleh masyarakat karena dianggap tidak Islami sehingga siswa absen, Kiai Ahmad Dahlan tidak segan datang ke rumah siswa untuk langsung menjemput agar mau belajar.
Beliau juga sering mengajak siswa belajar di luar kelas dalam kegiatan tamasya, sebagaimana pernah dikabarkan oleh Surat Kabar Bromartani edisi 15 September 1915, Kiai Ahmad Dahlan mengalami musibah kecopetan saat mengajak para siswa tamasya ke Taman Sriwedari di Solo.
Saat mengajar Kiai Ahmad Dahlan suka dengan metode dialog. Beliau tidak segan menjawab semua pertanyaan murid-muridnya sampai tuntas. Abdul Munir Mulkhan dalam Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan (2010) menjelaskan sifat ini sebagai prinsip keguruan dan basis etika guru Muhammadiyah.
Menurut Mulkhan, etika tersebut adalah etika umat Islam dalam memandang ilmu dengan memposisikan dirinya setiap saat sebagai sosok guru sekaligus murid. Sebagai seorang guru, seorang muslim wajib mengajarkan semua ilmu yang dimilikinya, sedangkan sebagai murid, seorang muslim dianjurkan untuk belajar kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja, termasuk kepada para muridnya.
KH Ahmad Dahlan, Guru Sekaligus Murid
Alfian dalam Muhammadiyah: The Political Behavior of A Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (1989) menyebut sikap ini tertuang pada pesan Kiai Ahmad Dahlan yang berbunyi “Jadilah guru sekaligus murid”, sebuah pesan untuk bersikap inklusif dan terbuka mengambil manfaat dari siapapun.
Di luar sekolah, Kiai Ahmad Dahlan juga gemar berkeliling kampung atau kota untuk memberikan pengajaran (tablig) yang dia namakan sebagai guru keliling. Seorang guru juga disadari sebagai sosok yang wajib memberikan teladan baik dalam keadaban publik.
Hal inilah yang kemudian dilembagakan lewat Ketentuan Sekolah Muhammadyah yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah Bagian Sekolahan tahun 1924 yang berbunyi “Hal tata tertib, kebersihan dan lakoe kebajikan, semua guru harus berusaha akan menjadi contoh kepada murid-murid dan orang sekampungnya.” Demikian tercatat dalam Suara Muhammadiyah Tahun ke-5 Nomor 4 tahun 1924.
Buah dari keikhlasannya dalam berjuang, satu tahun sebelum Kiai Ahmad Dahlan wafat, menurut Abdul Munir Mulkhan Muhammadiyah pada 1922 telah memiliki 8 sekolah dengan 73 guru dan 1.019 siswa.
0 Komentar
Untuk mengirimkan komentar silakan login terlebih dahulu!