Oleh: Kumara Adji Kusuma
(Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo dan Wakil Ketua Majelis Tabligh PDM Sidoarjo)
Di dalam Alquran Surat Adzariat 56 Allah berfirman bahwa tidaklah jin dan manusia diciptakan kecuali untuk menyembahNya.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
Dalam Ayat tersebut Allah menginformasikan kepada makhlukNya, dalam konteks tulisan ini manusia, bahwa ia diciptakan guna mengemban tugas tunggal penciptaannya yakni hanya untuk beribadah kepada Allah SWT.
Maka dari itu, dalam hidup manusia selama 24/7, di sepanjang hidupnya, haruslah sepenuhnya digunakan untuk beribadah kepada Allah. Beribadah kepada Allah adalah pengakuan bahwa tidak ada Tuhan yang layak disembah selain Allah, bahwa manusia hidup hanya untuk mengabdikan diri kepada Allah.
Dalam seluruh kegiatan manusia, dalam 24 jam, mulai dari membuka mata hingga menutup mata kembali, sejak baligh, hingga menutup mata untuk terakhir kali, seluruhnya adalah untuk menyembah Allah.
Pertanyaannya yang muncul kemudian adalah “bagaimana bisa kita menyembah Allah dalam 24 jam tanpa jeda, selamanya?”
Perintah Salat Sehari Semalam
Salat menjadi tata cara penyembahan Allah yang Allah sendiri menyampaikan secara personal kepada Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Isra-Mi’raj. Allah memerintahkan manusia untuk melaksankana shalat 50 waktu dalam sehari semalam. Namun, pada hakikatnya perintah Allah dalam peristiwa tersebut tidaklah 50 waktu, yakni hanya 5 kali dalam sehari semalam.
Bisa dibayangkan jika Allah memberikan perintah shalat 50 kali dalam 24 jam, tentu bisa dihitung dalam sehari semalam itu manusia wajib melaksanakan shalat di setiap setengah jam. Dengan shalat 50 kali dalam sehari semalam, maka sangat sempit waktu untuk berinteraksi dengan sesama manusia, untuk bermuamalah, untuk kehidupan dunianya. Karena itu tidak heran jika kemudian ada anggapan bahwa jeda hidup manusia hanya untuk menunggu waktu untuk shalat saja.
Lebih jauh, jika dikurangi waktu tidur, misalnya 8 jam sehari. Maka tersisa waktu 16 jam untuk shalat sehingga bisa jadi setiap 15 menit manusia akan melaksanakan shalat. Betapa semakin sempit atau bahkan tidak ada waktu untuk berkegiatan selain shalat. Benar-benar jeda waktu antar shalat adalah waktu untuk menunggu shalat.
Jika Allah menghendaki maka manusia wajib melaksanakan shalat 50 waktu dalam sehari semalam. Namun perintah shalat itu sebenarnya adalah 5 waktu. Dan Allah menyampaikan bahwa setiap shalat ini bernilai sepuluh sehingga tetap bernilai lima puluh waktu dalam sehari semalam. Ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada manusia. Dan Allah yang paling memahami sifat dan karakteristik manusia.
Tentu orang akan mengajukan pertanyaan selanjutnya. Di luar waktu pelaksanaan ibadah ritual shalat lima kali itu, apakah kita tidak menyembah Allah?
Pertanyaan tersebut karena berangkat dari cara berfikir yang keliru. Bahwa menyembah Allah hanya dengan ritual shalat saja. Pada prinsipnya, beribadah kepada Allah, tidak hanya dalam konteks yang telah diformalkan dalam shalat saja. Bahkan ibadah kepada Allah dalam bentuk yang tidak formal lebih banyak lagi jumlahnya jika dikonversikan dengan waktu, yang secara keseluruhan adalah wujud kita mengabdi kepada Allah SWT.
Hakikat Ibadah kepada Allah: Dzikrullah
Shalat pada hakikatnya adalah untuk berdzikir kepada Allah seperti terulis dalam QS Thaha: 14
“Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku dan tegakkanlah salat untuk mengingat-Ku”
Ayat tersebut menjelaskan, bahwa shalat yang menghubungkan manusia dengan Allah itu esensinya adalah dzikir kepada Allah. Dzikir secara harfiah adalah mengingat Allah.
Selain itu, dalam Al quran juga ditegaskan bahwa dengan mengingat Allah maka kita akan terhubung dengan Allah. Merujuk pada firman Allah dalam Al-Qur’an, yaitu dalam Surat Al-Baqarah ayat 152:
“Maka ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu kufur (ingkar).”
Ayat tersebut menjelaskan kepada manusia bahwa secara ghaib manusia akan terhubung dengan Allah ketika berdizkir, mengingat Allah. Dengan mengingat Allah maka Allah akan mengingat hambanya, yakni mengizinkan hambaNya untuk terhubungan dengan DiriNya.
Allah pun akan menyambut permintaan hubungan kita dengan cepat, bahkan melebihi kemajuan yang bisa dilakukan manusia. Seperti dalam Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari No. 7405 dan Muslim No. 2675:
“Rasulullah SAW bersabda bahwa Allah berfirman: “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku pun mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di dalam sebuah majelis, maka Aku mengingatnya di dalam majelis yang lebih baik dari itu. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.”
Ini menandakan bahwa dzikir inilah secara hakikat yang menghubungkan kita dengan Allah. Dan Allah memerintahkan kita untuk senantiasa berdzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya, seperti disampaikan Allah dalam QS. Al-Ahzab ayat 41-42:
“Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah dengan mengingat (Nama-Nya) sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.”
Allah telah mengajarkan kepada kita bahwa mengingat Allah adalah jalan kita menyembah Allah. Karenanya ibadah formal yang terikat dengan ritual seperti shalat, puasa, zakat, dan haji tidak dilakukan setiap saat. Tetapi ada ibadah yang bisa terus dilakukan sepanjang hidup kita, sepanjang hari, setiap hari, setiap jam, bahkan setiap detik, yakni berdzikir kepada Allah.
Ranah Dzikir kepada Allah
Berdzikir kepada Allah tidak hanya terikat dengan dzikir yang formal seperti mengucapkan kalimat tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir: subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallah, Allahu akbar. Ini adalah dzikir dengan lisan.
Seperti kita ketahui bahwa dzikir itu terdapat beberapa ranah. Yakni ranah qalbu, ranah aqal, ranah nafs, dan ranah fisik.
Pertama, dzikir di ranah qalbu adalah mengingat Allah cukup dalam hati dan ini menenangkan. Seperti termaktub dalam QS. Ar-Ra’d: 28
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
Dzikir dalam hati ini menenangkan orang beriman. Sehingga jika ketika seseorang yang berdzikir kepada Allah belum menemukan ketenangan, maka keimannnya perlu mendapat perhatian tersendiri. Karena keimanan ini adalah ranah dari hati atau qalb seoarang manusia. Namun juga perlu didukung dengan akal yang lurus.
Kedua, pola dzikir selanjutnya adalah pada ranah aqal. Dzikir ini adalah mengingat Allah dengan hati dan memikirkan atau merenungi ciptaan Allah seperti dalam konsep Ulul Albab yakni manusia yang merenungi cipataan Allah dalam kondisi berdiri, duduk, dan berbaring. Sehingga, kita bisa menyimpulkan bahwa Allah adalah pencipta Alam semesta dan tidaklah Allah menciptakan alam semesta ini dengan sia-sia. Seperti tertulis dalam Surat Ali ‘Imran ayat 190-191:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring serta mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.'”
Ketiga, berdzikir di ranah fisik seperti dengan lisan kita yakni mengucapkan tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir, serta dzikir lisan lainnya yang diajarkan dalam sunnah Rasulullah SAW. Demikian juga halnya dengan membaca Alquran.
Jika ditelaah, berdzikir dengan lisan ini adalah adalah dzikir yang dilakukan oleh dua ranah yakni dengan hati dan juga jika mampu dengan fikiran kita. Karena lisan kita mengucap kalimat Allah, akal kita memahami/merenungi maknanya.
Dzikir dalam ranah fisik lainnya adalah dengan shalat. Dalam shalat hati kita berdzikir kepada Allah; Lisan kita berdzikir dengan bacaan-bacaan shalat; Akal kita memahami apa yang kita baca dalam Shalat; Dan tubuh kita pun bergerak dalam gerakan berdiri, rukuk, dan sujud sebagai tanda berdzikir kepada Allah. Pada ranah gerakan ini, dzikir lebih kompleks yakni mulai dari qalbu, akal, nafs, dan jasad yakni lisan dan gerakan.
Berdzikir dengan gerakan ini tidak hanya sebatas dalam gerakan shalat. Segala bentuk gerakan manusia yang diniati sebagai bentuk dzikir kepada Allah yang dilandasi dengan syariah yang benar maka akan bernilai ibadah. Karena Rasulullah sendiri mengajarkan bahwa segala perbuatan manusia tergantung niatnya. Islam mengajarkan agar setiap perbuatan hendaknya diniatkan untuk beribadah/berdzikir kepada Allah dengan diawali dengan basmalah. Perbuatan manusia akan dipertanggungjawaban berdasarkan niatnya tersebut.
Pada ranah jasad, tubuh berdzikir dengan menjaga kesucian. Bahwa ada relasi antara fisik dan ruh. Fisik yang suci akan mencerminkan kesucian ruh. Dalam wudhu, membasuh anggota tubuh secara syar’i akan berimplikasi pada kesucian internal sehingga menjadi syarat untuk bisa melaksanakan ibdah ritual seperti shalat.
Keempat, dzikir pada ranah nafs adalah dengan mengendalikan emosi atau persaaan untuk senantiasa menumbuhkan rasa cinta dan ikhlas dalam beribadah kepada Allah. Dzikir yang dilakukan oleh qalbu, aqal, dan jasad ini memiliki pengaruh kepada nafs. Sehingga nafs-nya kemudian bisa melakukan transendensi dari Nafs Ammarah yang cenderung kepada kejahatan, kemudian bertransformasi menjadi Nafs Lawamah yang menyesali kesalahan diri, sehingga bertransformasi menjadi Nafs Muthmainnah.
Beribadah 24/7
Seperti ditegaskan di awal tulisan ini, bahwa dalam kehidupan, di seluruh kehidupan kita, Ibadah kepada Allah adalah dilakukan secara 24 jam. Rasulullah telah mengajarkan kepada kita bahwa kita harus senantiasa berdzikir kepada Allah. Dimulai sejak kita membuka mata dari tidur hingga kita menutup mata kembali.
Ketika kita membuka mata, kita dituntun Rasulullah untuk membaca doa bangun tidur yang merupakan dzikir kepada Allah, demikian juga saat kita menutup mata kembali; Kita mengingat Allah dengan doa ketika kita akan masuk dan keluar dalam kamar mandi; ketika akan makan dan setelah makan; ketika kita memakai baju; ketika kita bercermin; ketika kita masuk dan keluar rumah; ketika kita naik kendaraan; ketika kita melihat sesuatu yang indah atau pun yang buruk; ketika akan masuk dan keluar masjid; ketika memulai dan menutup majelis atau rapat; ketika kita akan bekerja atau berbisnis membaca bismillah; dan seterusnya.
Demikian halnya ketika kita menyiapkan konsumsi. Hendaknya hewan yang kita sembelih dengan membaca basmallah. Hal ini karena dengan berdzikir dengan doa kepada Allah maka kita menghadirkan Allah dalam penyembelihan itu. Karena Allah bersama orang-orang yang berdzikir. Dalam penyembelihan itu, kita diberikan izin oleh Allah untuk mengambil nyawa dari hewan yang merupakan milik Allah untuk kita konsumsi untuk kesehatan kita, yang tentunya makanan ini akan membuat kita mampu untuk menjalankan ibadah karena tubuh yang sehat.
Dalam bekerja, Alah memerintahkan fan tashiru fil ardhi untuk mendaptkan karunia Allah di bumi, kita juga hendaknya berdzikir kepada Allah. Ketika kita mulai mengerjakan pekerjaaan kita kita mulai dengan membaca berdzikir kepada Allah sebanyak banyak dengan. Seperti tertulis dalam Alquran Al-Jumu’ah: 10
“Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah, serta ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.”
Bahwa kita bisa secara bersamaan melakuan pekerjaan dengan senantiasa mengingat Allah. Ini adalah kemampuan manusia yang dikaruniakan kepada Allah untuk bisa berfikir paralel bahwa kita bisa berdzikir, mengingat Allah baik dalam hati, fikiran, dan perbuatan kita secara simultan.
Berdzikir dengan Ikhlas/Cinta
Dalam Alquran Allah telah memerintahkan kepada manusia untuk beribadah secara ikhlas beragama yang dalam hal ini adalah dalam kerangka cinta. Bahwa keikhlasan itu akan terjadi ketika orang memahami hakikat mengapa kita hidup di dunia. Dalam QS. Al-Bayyinah: 5 disebutkan:
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan agar mereka mendirikan salat serta menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.”
Dengan pemahaman tersebut orang akan sering mengingat Allah, yang bermakna ibadah kepada Allah dengan sebanyak banyaknya. Orang yang demikian maka dalam dirinya akan muncul kebiasaan atau yang dalam bahasa modern disebut habit yang habit ini akan menumbuhkan benih-benih kerinduan kepada Allah. Bahwa cinta itu akan tumbuh bersamaan dengan pemahaman kita tentang tujuan kita hidup. Kebiasaan kita untuk senantiasa mengingat Allah akan menumbuhkan rasa cinta kepada Allah. Dalam pepatah jawa disebutkan bahwa Trisna jalaran saka kulina.
Bahwa kebiasaan kita mengingat Allah maka akan menumbuhkan cinta dalam diri kita, sehingga kita akan bisa dengan ikhlas dengan jiwa yang tenang menjalani kehidupan dunia ini. Dengan keikhlasan ini kita akan ridha kepada Allah dan jika kita Ridha kepada Allah maka Allah akan ridha kepada kita (radhiayatan mardiyah). Seperti termaktub QS. Al-Fajr ayat 27-30,
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan rida dan diridai. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
Jika kita ridha kepada Allah dan Allah ridha kepada kita, dan kita meninggal dengan cara demikian, maka telah tuntaslah misi kita di dunia. Sehingga kita bisa kembali kepada Allah dengan balasan pertemuan dengan Allah di surga. Ini adalah hal terindah bagi seorang Muslim.
Wallahu’alam
0 Komentar
Untuk mengirimkan komentar silakan login terlebih dahulu!