Semalaman Imron Rivaldi asyik tenggelam menonton live streaming seorang YouTuber terkenal. Ia sadar betul, tontonan itu faedahnya sedikit. Tapi entah kenapa, ada rasa puas yang aneh menyelinap di hatinya saat melihat para streamer itu berpesta pora, menenggak alkohol hingga mabuk, lalu bicara ngalor-ngidul tak karuan.
Imron sendiri tak pernah menyentuh minuman haram itu seumur hidupnya. Namun, entah bagaimana, menyaksikan orang lain teler justru jadi hiburan baginya.
Di sisi lain, Malik Senja Ramadan, teman sekosnya, hanya bisa mengernyitkan dahi. Baginya, keasyikan Imron itu sungguh membingungkan. “Apa serunya nonton orang mabok?” tanyanya suatu kali, nada heran bercampur sinis. “Mending marathon One Piece lah, lebih ada cerita.”
Imron cuma nyengir. “Seru aja, Lik. Lihat mereka jadi lucu kalau udah teler,” jawabnya enteng.
Malam itu, setelah berjam-jam menatap layar, Malik ketiduran terlebih dahulu. Ia sudah mendengkur sementara layar ponselnya masih menampilkan Luffy dengan Gear Fifth-nya yang tengah bertarung sengit melawan Kaido.
Sementara itu, Imron juga mulai merasa kantuk. Matanya sudah setengah terpejam, posisinya di kasur pun terasa begitu nyaman. Tapi tiba-tiba, ada gangguan kecil yang mengusik: kandung kemihnya penuh. Saluran urin itu seperti berbisik, “Ayo, ke WC sekarang, atau kamu nyesel besok pagi.”
Imron terjebak dalam dilema klasik yang sudah menghantui umat manusia sepanjang sejarah: ngantuk tapi kebelet. Akhirnya, dengan langkah gontai, ia memilih menyeret tubuhnya ke kamar mandi.
Di sana, sambil buang air kecil, Imron tanpa sengaja menatap gelombang air di ember kos yang terkena tetesan keran. Entah kenapa, pemandangan sederhana itu membawanya pada sebuah pikiran tak terduga: “Sudah lama gak tahajud. Wudhu, ah.”
Mungkin itu bisikan hati, atau sekadar efek mengantuk yang bikin otaknya melantur. Yang jelas, setelah selesai, ia memutuskan untuk berwudhu. Malam itu, setelah sekian lama absen, ia berniat melakukan salat tahajud.
Dengan wajah segar dan hati sedikit bergetar, Imron kembali ke kamar. Ia sudah membayangkan dirinya berdiri di atas sajadah, bermunajat dalam sunyi, setelah sekian lamanya.
Tapi begitu sampai di tempat biasa Imron salat, langkahnya terhenti. Di sudut ruangan, Malik ternyata sudah bangun lagi. Bukan untuk salat, tentu saja, tapi untuk main Mobile Legend. Cahaya layar ponsel Malik memantul di wajahnya yang berminyak, sementara jari-jarinya sibuk mengendalikan hero favoritnya.
Imron langsung membeku. Pikirannya berputar cepat. Ia membayangkan Malik akan memergokinya salat tahajud, lalu kaget dan mungkin berpikir dalam hati, “Wah, tumben banget.” Rasa malu itu datang tiba-tiba, seperti tamu tak diundang.
Padahal, salat tahajud adalah kebaikan, sesuatu yang seharusnya membanggakan. Tapi entah kenapa, di depan Malik, Imron justru merasa canggung melakukan hal-hal yang terpuji. Ia berdiri mematung, terjebak antara niat baik dan bayangan ejekan ringan yang belum tentu terjadi.
Dan malam itu, Imron masih berdiri di sana, memandang sajadah kosong, sementara Malik asyik nge-push rank, tak sadar akan pergulatan batin teman sekosnya. Akhirnya, Imron memilih mundur. Niat berbuat kesalehan itu menguap begitu saja. Ia kembali ke kasur, menarik selimut, dan tidur.
Keesokan harinya, tepat setelah adzan dzuhur, Imron pura-pura melemparkan topik ringan ke Malik. “Eh, Lik, kenapa ya, orang kadang malah malu kalau mau berbuat kesalehan?” tanyanya, nada santai seolah iseng.
Malik mengangguk, lalu tiba-tiba terlihat seperti teringat sesuatu. Ia pun mulai bercerita.
Malik pernah mencoba membaca Al-Qur’an di kamarnya saat sedang di rumah. Sudah lama sekali ia tak membuka mushaf, hingga suatu hari tiba-tiba terdorong untuk melakukannya. Tanpa banyak pikir, ia mengambil kitab suci itu dan bersiap membaca.
Sebelum memulai, Malik bergegas memastikan pintu kamarnya tertutup rapat. Ada rasa takut yang tak terjelaskan di hatinya kalau-kalau ada orang yang tahu. Namun, begitu ia mulai melantunkan ayat-ayat, ia terbawa suasana. Suaranya mengalun, cukup keras, hingga tanpa disadari terdengar sampai ke luar kamar.
Tiba-tiba, ibunya yang kebetulan lewat mendengar suara itu. Penasaran, ia mendekati pintu dan mengetuk sambil memanggil, “Malik, hallo, Malik. Apa kamu di kamar?”
Malik langsung tersentak. Jantungnya berdegup kencang. Dalam sekejap, ia menutup mushaf dengan cepat, lalu lompat ke kasur dan berbaring pura-pura tidur. Entah kenapa ia merasa khawatir bila ibunya tahu ia sedang membaca Al-Qur’an.
Padahal, Malik sadar ibunya pasti akan senang melihatnya begitu. Tapi entah kenapa, rasa malu itu begitu kuat menguasainya. Ia hanya bisa tertawa kecil dalam hati, menggelengkan kepala atas tingkahnya sendiri.
Imron mendengarkan sambil nyengir. Dalam hati, ia merasa lega, ternyata ia tak sendiri. Aneh, bukan? Ketika kita biasa berbuat hal sia-sia, tak ada rasa malu yang menghantui. Tapi begitu mencoba berbuat baik, tiba-tiba ada bisikan dalam kepala: “Jangan-jangan orang lain nganggep kita lagi pura-pura.”
Selang beberapa menit setelah cerita itu selesai, pintu kos terbuka. Nuriel Al-Kautsar, teman kos mereka yang lain, baru saja pulang dari salat dzuhur berjamaah. Ia mengenakan koko putih yang rapi dan sarung yang terlipat sempurna di pinggangnya.
Imron memperhatikannya dari sudut mata. Ada rasa aneh di hatinya. Nuriel selalu tampak santai saat salat berjamaah atau mengaji Al-Qur’an. Baginya itu biasa saja, seperti makan malam. Tapi kalau Imron sendiri yang mencoba terlihat religius, rasa malu itu langsung menyergap tanpa permisi.
Malik, yang rupanya peka dengan ekspresi Imron, tiba-tiba menyela. Ia tersenyum kecil, seolah tahu apa yang berkecamuk di pikiran temannya itu. Ia bilang bahwa ia paham kenapa mereka malu saat terlihat saleh di mata orang lain.
“Kenapa bisa begitu ya, Lik?”
“Itu karena kita gak terbiasa, Mron. Simpelnya gitu.”
“Maksudnya gimana?”
“Ya coba pikir, biasanya kita ngapain? Nonton streaming orang mabok, main game sampe subuh. Hal-hal baik kayak salat tahajud atau ngaji tuh jarang banget kita sentuh.”
“Oh… jadi karena gitu ya? Kayak, gak biasa gitu?”
“Bener. Makanya pas kita coba lakuin, rasanya aneh. Kayak tindakan yang gak sesuai sama ‘kita yang biasanya’.”
“Benar sih. Kayak anomali di hidup kita gitu.”
“Tepat banget. Makanya malu, soalnya kita takut orang lain notice perubahan itu.”
Setelah berbagi cerita dan refleksi soal rasa malu saat berbuat saleh, Imron merasa ada sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya. Ia memutuskan untuk mengakhiri kebiasaan canggungnya. Ia tak mau lagi membiarkan rasa malu menghalangi niat baiknya untuk beribadah dan beramal saleh.
Dengan semangat yang tiba-tiba membuncah, Imron menoleh ke Malik dan mengajaknya untuk salat dhuha bersama.
Namun, Malik tak langsung setuju. Ia protes, mengernyitkan dahi sambil melemparkan argumen yang tak terduga.
“Mron, jadi orang saleh juga harus pinteeer.”
“Emang kenapa, Lik?”
“Ini jam dua siang!!!!”
0 Komentar
Untuk mengirimkan komentar silakan login terlebih dahulu!