Muhammadiyah - Seni sebagai bagian dari kebudayaan banyak berjasa untuk manusia. Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari seni. Melaluinya, manusia bisa merefleksikan diri dan memaknai dirinya sendiri. Tak ubahnya dengan Islam, sebagai panduan hidup, Islam adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan seorang muslim. Dari ujung rambut hingga ujung jempol kaki, bangun tidur hingga tidur lagi, Islam menyediakan seperangkat kiat-kiat untuk menjalani dan memaknai hidup.
Selaras dengan itu, dalam sebuah siniar, perupa sekaligus anggota Lembaga Seni Budaya (LSB) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Jumaldi Alfi menguraikan seni sebagai bagian tak terpisahkan dari kondisi emosional manusia.
“Kalau dalam kesenian itu kan kaitannya dengan emosional, psikologi. Nah di kesenianlah sebenarnya semua unsur perbedaan itu dilebur. karena kalau di dalam kesenian itu tidak dipertanyakan sebenarnya kamu dari mana, tapi apa yang akan kamu persembahkan. Dan sebenarnya kesenian itu bukan olah logika, jadi rasa. Jadi kalau di dalam bahasa sansakerta seni itu artinya kan halus (berasal dari kata) sani (yang bermakna) halus; menghalus; memperhalus kepekaanmu. Nah, nanti muaranya itu kemanusiaan, kepedulian,” ucap Jumaldi Alfi atau akrab disapa Uda Alfi.
Bagi Uda Alfi, semua orang memiliki kedudukan setara dihadapan seni. Tak peduli kasta sosial, keyakinan, ideologi, maupun gender, semuanya lebur dalam seni. Bukannya tak bernilai, justru, keberagaman itu yang menjadi kekuatan seni. Kekayaan warna, bentuk, tekstur dan unsur lainnya yang membangun seni adalah keniscayaan yang tak terhindarkan. Hal itu yang membuat seni menjadi enak dipandang dan harmoni. Demikian halnya keberagaman dalam islam, perbedaan sering kali dipandang sinis, baik dari aspek paham agama hingga cara berpakaian. Padahal, agama islam praktis mengajarkan kedamaian dan sangat menerima keberagaman dalam tubuh islam maupun di luarnya. Perbedaan itu diberlakukan sebagai alat untuk mengenal dan memahami, bukan bermusuhan.
Muhammadiyah Tidak Anti Seni
Dalam perbincangan masyarakat umum, seni islami cenderung ditafsirkan dengan sempit apalagi dalam konteks seni rupa. Menurut Uda Alfi, orang-orang terkadang lupa bahwa seni islami itu bukan hanya kaligrafi. Seni atau dalam hal ini lukisan, adalah yang memberikan muatan atau kandungan islami, alih-alih bentuk fisik islami. Kalau seni islami dipersempit pada lukisan kaligrafi maka akan memunculkan polemik di masyarakat. “…tempo hari ada kasus itu ada orang bikin kaligrafi yang buah pir, terus lalu marah-marah karena ternyata itu doa bapak kami. Dia terus bilang, Wah ini enggak bisa…”.Kaligrafi sendiri merupakan lukisan yang berasal dari teks berbahasa arab. Penggunaan teks arab untuk kebutuhan lainnya tentu tidak dilarang karena itu adalah bahasa sehari-hari. Tapi bukan teksnya yang menjadi sorotan, bagi Uda Alfi, kaligrafi dalam seni islami harus dilihat dari muatan-muatan islaminya.
Walaupun berlabel islam modernis, Muhammadiyah tak melupakan gerakan kesenian dan kebudayaan sebagai strategi dakwahnya. Kendati sikap keras KH. Ahmad Dahlan menentang praktik TBC (Tahayul, Bid’ah, khurafat) yang mendarah daging dalam kebudayaan kita, KH. Ahmad Dahlan juga mendidik murid-muridnya dengan sarana musik. Misalnya, sejak awal, dakwahnya memanfaatkan melodi biola yang sangat kental dengan kesenian, secara tidak langsung adalah gerakan kebudayaan. “Jangan bayangkan kebudayaan itu hanya lukisan, atau orang main organ tunggal, atau dangdutan, atau kasidah, tidak,” kata Uda Alfi. Justru kesenian akan bertemu pada prinsip kemanusiaan Muhammadiyah. Menurutnya, prinsip kemanusiaan Muhammadiyah menjadikan manusia lebih dekat dengan kemanusiaannya. Perpaduan kedua hal itu membawa keselarasan kemanusiaan. Singkatnya, Muhammadiyah tidak alergi kesenian.
Mengimajinasikan Kesenian Masa Depan Muhammadiyah dan Artificial Intelligence (AI)
“Sebagai sebuah gerakan yang progresif, kebudayaan yang harus kita angkat itu ya kebudayaan saat ini dan masa depan. Jadi, ketika orang melihat pameran seniman Muhammadiyah, orang akan membayangkan kesenian masa depan.”
Uda Alfi membayangkan Muhammadiyah akan membawa seni masa depan. Hal itu menjadi unik karena dapat menampilkan Muhammadiyah dengan berciri khas seni tertentu. Kalau ke tempat kesenian yang lain orang-orang mengingat masa lalu, kalau ingin melihat masa depan maka Muhammadiyah menjadi rujukan. Dalam suasana itu, kita membayangkan masa depan, memprediksinya, dan melangkah maju.
Menurutnya, kesenianlah yang merekam tanda-tanda zaman. Realitas zaman itu kemudian diolah, ditelaah, dan diciptakan sebuah karya seni.
Berbicara tentang kesenian masa depan, menurut Uda Alfi, kesenian baru ala AI bisa menyingkirkan logika. Satu hal yang bertahan ialah kepekaan rasa dari pelaku seni. Kesenian juga penting untuk mengajarkan kreativitas, kerjasama dan disiplin. Hal ini mematahkan stigma kalau belajar kesenian harus menjadi seniman. Belajar kesenian juga bermanfaat untuk kehidupan karena banyak hal dari seni yang bisa dipraktikkan di kehidupan nyata. Misalnya, kreativitas dalam seni bisa membangkitkan imajinasi dalam praktik berdagang hingga berdakwah, dari kebutuhan duniawi hingga akhirat.
Berdakwah dengan Kesenian
Mengutip Buya Syafii Maarif, Uda Alfi mendefinisikan kesenian dan agama: “agama dan kesenian itu harus jalannya beriringan, ya. agama tanpa kesenian dia akan menjadi dogma, kesenian tanpa agama menjadi amoral.”
Dalam konsep itu terlihat agama menciptakan justifikasi nilai terhadap kesenian. Hal ini memengaruhi cara berkesenian perupa Muhammadiyah berdarah Minang itu. Menurutnya, agama dan kesenian harus berkesesuaian, menemukan jalan yang harmonis. “Jadi, kalau saya pribadi,ketika saya berkesenian saya akan diatur oleh nilai agama saya. (Mempertimbangkan) ini layak enggak, dan saya orang Minang jadi melihat kesenian itu bagian dari ibadah. Tapi, bukan lalu jugamenjadi semata-mata tidak kritis, kita juga punya cara,” katanya.
Sebagai manusia yang beragama, kata Uda Alfi, kita memiliki aturan-aturan bagaimana tampilan-tampilan karya seni itu tidak menjadi terlalu vulgar. Menampilkan karya seni dengan bentuk dan wujud yang terlalu vulgar menurutnya tidak terlalu bagus, terkhususnya berlaku untuk dirinya sendiri sebagai perupa yang menimbang aspek agama dalam karyanya.
Uda Alfi juga berupaya untuk ber-Muhammadiyah dengan jalan kesenian, dengan karya-karyanya, lukisannya. Dengan cara itulah ia berdakwah melalui Muhammadiyah. “Ketika kamu ber-Muhammadiyah menjadi Muhammadiyah, kamu menjadi pendakwah.” Berdakwah tidak mesti di atas mimbar dengan memikul gelar Ustaz. Dalam Muhammadiyah, seorang seniman pun harus mendakwahkan islam sebagai rahmatan lil alamin, yaitu islam yang berpihak kepada kemanusiaan. Itulah yang didakwahkan oleh Muhammadiyah.
“Jadi, sebagai seorang Muhammadiyah kamu harus berdakwah dengan profesi masing-masing. Saya seniman Muhammadiyah, saya mendakwahkan ke-Muhammadiyahan saya, keislaman saya dengan karya saya tentang kemanusiaan,” tambahnya.
Ketika berkesenian, ia menegaskan cara berkesenian Muhammadiyah sesuai dengan bagaimana Muhammadiyah merumuskan cita-citanya sejak awal dibentuk. “Sekali lagi, tadi saya garis bawahi, yang saya pahami seniman di Muhammadiyah sesuai dengan apa yang menjadi tugas pokok atau yang menjadi cita-cita sejak awal Muhammadiyah itu. Menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Jadi kesenian kita adalah itu,” paparnya. (adit)
0 Komentar
Untuk mengirimkan komentar silakan login terlebih dahulu!