Menunaikan ibadah haji adalah salah satu kewajiban agung bagi umat Muslim yang mampu secara fisik dan finansial. Prinsip ini tercermin dalam ayat suci Al-Quran yang menegaskan bahwa haji adalah kewajiban bagi manusia yang mampu mencapai Baitullah. Allah SWT berfirman dalam Surah Ali ‘Imran (3): 97, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”
Istitha’ah atau kemampuan merupakan syarat mutlak bagi seseorang untuk melaksanakan ibadah haji. Hal ini mencakup kemampuan secara fisik dan finansial. Seorang Muslim yang tidak mampu secara jasmani maupun rohani tidak diwajibkan untuk menunaikan haji. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad SAW, “Hai manusia, sesungguhnya Allah adalah Thayyib, dia tidak menerima kecuali yang thayyib (bersih dan halal).” (Muslim, Kitab az-Zakah).
Bagi mereka yang tidak mampu, tidak perlu mengemis atau meminta bantuan kepada siapapun, karena mereka tidak terbebani dengan kewajiban haji. Namun demikian, jika ada seseorang yang dengan sukarela membantu mereka untuk menunaikan ibadah haji, bantuan tersebut boleh diterima atau ditolak, dengan pertimbangan kebersihan dan kehalalannya. Sebab, Allah SWT hanya menerima yang bersih dan halal (thayyib).
Ini berarti tidak boleh berasal dari usaha yang diharamkan oleh Allah, seperti korupsi, pencurian, perzinaan, atau kegiatan lain yang dilarang. Hal ini ditegaskan dalam ajaran Islam sebagai bentuk penghormatan terhadap Allah SWT, yang hanya menerima yang bersih dan halal.Dalam konteks ini, keberadaan kemampuan menjadi kunci utama dalam menunaikan ibadah haji. Sehingga, bagi mereka yang tidak mampu, tidak ada kewajiban untuk menunaikan haji, namun bagi yang mampu, ibadah ini menjadi salah satu kewajiban yang harus dipenuhi sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT.
0 Komentar
Untuk mengirimkan komentar silakan login terlebih dahulu!